Sejarah gender adalah sub-bidang kajian sejarah dan gender yang melihat masa lalu dari perspektif gender. Dalam banyak hal, kajian ini merupakan hasil dari sejarah perempuan. Disiplin penelitian ini mempertimbangkan dengan cara apa peristiwa-peristiwa bersejarah dan periodisasi berdampak pada perempuan secara berbeda dari laki-laki. Misalnya, dalam sebuah artikel berpengaruh pada 1977, "Did Women have a Renaissance?", Joan Kelly mempertanyakan apakah gagasan Renaisans relevan untuk perempuan.[1] Sejarawan gender juga tertarik pada bagaimana perbedaan gender dipersepsikan dan dikonfigurasi pada waktu dan tempat yang berbeda, biasanya dengan asumsi bahwa perbedaan tersebut dikonstruksi secara sosial. Konstruksi sosial gender ini sepanjang waktu direpresentasikan sebagai perubahan dalam norma-norma perilaku yang diharapkan untuk mereka yang dilabeli laki-laki atau perempuan. Mereka yang mempelajari sejarah gender mencatat perubahan norma ini serta manusia yang melakukannya dari waktu ke waktu, dan menafsirkan aspek perubahan tersebut mengenai iklim sosial/kultural/politik yang lebih luas.
Sejarawan dan cendekiawan perempuan telah membuat perbedaan antara istilah "gender" dan "seksualitas". Seks ditentukan sebagai susunan biologis seorang individu, sementara gender ditentukan sebagai identitas yang dipilih oleh seorang individu.[2] Natsuki Aruga berpendapat bahwa karya sejarawan perempuan mengenai gender telah membantu memperkuat perbedaan antara gender dan seks (jenis kelamin).[3] Kajian perempuan dan feminisme membentuk bagian dari dasar kajian gender, di mana sejarah gender merupakan sub-bidangnya. Kathleen Brown menyatakan bahwa ada tingkat kesulitan dalam menentukan perbedaan antara kajian perempuan dan gender karena tidak ada definisi tunggal dan menyeluruh mengenai arti menjadi seorang perempuan. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kesulitan dalam menentukan perbedaan antara sejarah perempuan dan sejarah gender.[2]
Sementera beberapa sejarawan ragu-ragu untuk menerima gelar "sejarawan perempuan", lainnya telah mengambil gelar ini dengan sukarela. Mereka yang telah menerima gelar tersebut cenderung memberikan penekanan yang besar pada kajian negara kesejahteraan dalam kaitannya dengan sejarah feminisme dan peran yang dimainkan gender sebagai faktor organisasional dalam suatu negara. Fokus sejarawan feminis juga telah beralih ke haluan Partai Demokrat Amerika, serta ranah kebijakan seperti kesetaraan upah, yang merupakan bagian dari sejarah sosial dan politik.[4]
Meski baru berumur pendek, sejarah gender (dan sejarah perempuan pendahulunya) telah memiliki efek yang agak signifikan pada kajian umum sejarah. Sejak 1960-an, ketika masih muda dan kemudian diterima, bidang ini telah melalui sejumlah fase yang berbeda, yang masing-masing dengan tantangan dan hasilnya sendiri, tetapi selalu memberi dampak pada disiplin sejarah. Beberapa perubahan pada kajian sejarah sudah cukup jelas, seperti meningkatnya jumlah buku tentang perempuan terkemuka atau sekadar pengakuan jumlah perempuan yang lebih besar dalam profesi sejarah. Pengaruh lainnya lebih halus, meski mereka mungkin lebih mengarah ke terobosan politik. Pada 1970-an, sejarawan gender beralih ke penulisan mengenai ekspetasi, aspirasi, dan status perempuan. Pada 1980-an dengan meningkatnya gerakan feminis, fokusnya bergeser ke pengungkapan penindasan dan diskriminasi perempuan. Saat ini, sejarah gender lebih tentang memetakan agensi perempuan dan pengakuan prestasi perempuan di beberapa bidang yang biasanya didominasi oleh laki-laki.[5]
Sejarah maskulinitas muncul sebagai spesialisasi pada 1990-an, dibuktikan dengan banyaknya penelitian lakil-laki dalam kelompok, dan bagaimana konsep maskulinitas membentuk nilai dan perilakunya. Gail Bederman mengidentifikasi dua pendekatan: yang muncul dari sejarah perempuan dan yang mengabaikannya: