![]() | |
Jumlah populasi | |
---|---|
175.000 sampai 200.000(perkiraan) | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
![]() | 80.000 |
![]() | 75.000 |
![]() | 80[1] |
![]() | 7.000 |
![]() | ~16.000 |
![]() | 10.000 |
Bahasa | |
Ibrani, Arab, Prancis, Inggris | |
Agama | |
Yudaisme Ortodoks | |
Kelompok etnik terkait | |
Yahudi Mizrahi, Yahudi Sefardim, kelompok Yahudi lain, orang Suriah lain, orang Timur Tengah lain |
![]() ![]() ![]() |
Yahudi Suriah (bahasa Ibrani: יהודי סוריה, bahasa Arab: اليهود السوريون) adalah orang Yahudi yang tinggal di wilayah negara modern Suriah, termasuk keturunan mereka yang lahir di luar Suriah. Yahudi Suriah terbentuk dari keturunan dua kelompok:
Terdapat komunitas besar orang Yahudi di Aleppo (orang "Yahudi Halabi") dan Damaskus (orang "Yahudi Shami") selama berabad-abad, dan komunitas lebih kecil di Qamishli di perbatasan Turki dekat Nusaybin. Pada pertengahan pertama abad ke-20 sebagian besar orang Yahudi Suriah beremigrasi ke Amerika Serikat, Amerika Latin dan Israel. Sebagian besar dari orang Yahudi pergi dalam masa 28 tahun setelah tahun 1973, sebagian karena upaya Judith Feld Carr, yang mengaku telah membantu 3.228 orang Yahudi beremigrasi. Emigrasi secara resmi diizinkan pada tahun 1992.[2] Komunitas Yahudi Suriah terbesar terletak di Brooklyn, New York, diperkirakan berjumlah 75.000 jiwa..[3] Ada sejumlah komunitas kecil di tempat lain di Amerika Serikat dan Amerika Latin.
Telah ada orang Yahudi di Suriah sejak zaman kuno. Menurut tradisi masyarakat, sejak zaman Raja Daud, dan pastinya sejak zaman Romawi Kuno. Pada tahun 70 SM terdapat sekitar 10.000 orang Yahudi di Damaskus. Orang Yahudi dari komunitas kuno ini dikenal sebagai "Musta'arabim" (orang Yahudi Arab), atau "Morisco" bagi kaum Yahudi Sefardim.[4] Banyak kaum Sefardim tiba setelah diusir dari Spanyol pada tahun 1492, dan dengan cepat mengambil posisi kepemimpinan dalam masyarakat.
Pada abad ke-18 dan ke-19, sejumlah orang Yahudi dari Italia dan tempat-tempat lain, yang dikenal sebagai "Señores Francos", menetap di Suriah untuk urusan perdagangan, sementara tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka di Eropa.
Orang Yahudi yang tergabung dalam komunitas Kurdi (berasal dari wilayah Kurdistan) merupakan bagian lain dari Yahudi Suriah yang kehadirannya di Suriah mendahului kedatangan Yahudi Sefardim, baru tiba setelah reconquisita.[5]
Sekarang tidak ada lagi perbedaan yang jelas di antara kelompok-kelompok ini, karena mereka telah banyak kawin campur, dan semua menganggap diri mereka sebagai "Sefardim" dalam arti luas. Dikatakan bahwa seseorang dapat membedakan keluarga Aleppo keturunan Spanyol dari kebiasaan menyalakan sebuah lilin Hanukkah tambahan. Kebiasaan ini rupanya berawal pada rasa syukur atas penerimaan mereka oleh masyarakat asli Suriah.
Pada abad ke-19, setelah selesainya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869, rute perdagangan bergeser jauh dari rute darat melalui Suriah, sehingga arti penting komersial Aleppo dan Damaskus mengalami penurunan. Banyak keluarga meninggalkan Suriah untuk pindah ke Mesir (dan beberapa ke Libanon) dalam dekade berikutnya. Frekuensi kepergian ini meningkat hingga Perang Dunia I, ketika orang Yahudi meninggalkan daerah Timur Dekat untuk pindah ke negara-negara Barat, terutama Britania Raya, Amerika Serikat, Meksiko dan Argentina. Emigrasi terus berlanjut, terutama setelah pembentukan negara Israel pada tahun 1948, karena adanya agresi Muslim yang berulang-ulang terhadap komunitas Yahudi di Suriah.
Bermula dari liburan Paskah tahun 1992, 4.000 anggota tersisa dari komunitas Yahudi Damaskus (bahasa Arab: Yehud ash-Sham) serta komunitas Aleppo dan orang Yahudi Qamishli diizinkan untuk meninggalkan Suriah di bawah rezim Hafez al-Assad asalkan mereka tidak beremigrasi ke Israel. Dalam beberapa bulan, ribuan orang Yahudi Suriah pergi ke Brooklyn, sementara beberapa keluarga memilih untuk pergi ke Prancis dan Turki. Mayoritas menetap di Brooklyn dengan bantuan kerabat mereka dari komunitas Yahudi Suriah yang sudah menetap lebih dahulu di sana.
Sejumlah kecil orang Yahudi yang masih tersisa di Suriah tinggal di Damaskus.[6]
Ketika banyak orang Yahudi Suriah pindah ke dunia baru dan menetap di sana, terjadi pemisahan antara mereka yang berasal dari Aleppo (orang "Yahudi Halabi", juga dieja "Halebi" atau "Chalabi") dan dari Damaskus (orang "Yahudi Shami"), dua pusat komunitas Yahudi utama di Suriah.[7][8] Pemisahan ini tetap ada sampai sekarang, di mana masing-masing komunitas mempertahankan sejumalh lembaga budaya dan organisasi sendiri, dan pada tingkat yang lebih rendah, preferensi untuk menikah di antara kelompok mereka sendiri.[7][8]
|
|
|