Pemberontakan Mandor | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
![]() Tugu Mandor di Pontianak | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
![]() |
![]() | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
![]() ![]() ![]() ![]() |
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() | ||||||
Kekuatan | |||||||
4.000 | 10.000 | ||||||
Korban | |||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui |
|
Pemberontakan Mandor (Hanzi: 工頭叛亂), disebut juga Perang Kongsi Ketiga, adalah pemberontakan etnis Tionghoa yang dibantu suku Dayak melawan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1884 dan 1885.[1]
Kronologi di bawah ini merupakan sudut pandang Belanda; wilayah ini berada di bawah kekuasaan Belanda, tetapi diancam oleh pemberontakan. Sudut pandang pemberontak berbeda karena mereka menganggap dirinya sebagai pelindung terakhir Republik Lanfang, federasi kongsi yang sudah berdiri sejak akhir abad ke-18, dari "serbuan Belanda" yang membubarkan negara tersebut pada 1884-85.
Artikel utama: Republik Lanfang dan Federasi kongsi |
Di Kalimantan barat, orang-orang Tionghoa mendirikan permukiman tambang pertama pada tahun 1760 dan menyingkirkan para pemukim Belanda dan pangeran Melayu setempat, lalu mendirikan negara sendiri, Republik Lanfang. Republik Lanfang adalah satu dari tiga federasi kongsi terbesar yang menguasai Kalimantan barat. Pada tahun 1819, mereka terlibat konflik dengan pemerintahan Belanda yang baru dan dianggap "tidak sejalan" dengan program pemerintah, tetapi Belanda membutuhkan mereka untuk membangun daerah tersebut. Karena itu, daerah ini mengalami rentetan konflik sebelum pemberontakan besar pecah pada tahun 1884-1885.
Sebagian besar federasi kongsi dibubarkan oleh Belanda usai Perang Kongsi. Republik Lanfang adalah salah satu federasi kongsi terakhir yang bertahan karena membuat kesepakatan otonomi dengan Belanda.[2] Lanfang masih bisa memilih pemimpin sendiri, tetapi atas persetujuan Belanda. Pada pertengahan abad ke-19, Belanda berusaha membatasi kekuasaan Republik Lanfang.[2]
Ketika orang-orang Tionghoa di Mandor mendadak memberontak pada 23 Oktober 1884, Kontrolir De Rijk dan 4 atau 5 ajudannya tewas di dalam atau di dekat rumahnya. Pemberontakan meluas sangat cepat karena orang-orang Tionghoa dibantu oleh suku Dayak. Mereka segera membentuk kelompok bersenjata dan menyerang tentara patroli Belanda. Mereka dicap "geng" oleh pemerintah Belanda dan bisa dikelompokkan sebagai kelompok gerilya.
Catatan kolonial Belanda merincikan insiden dan tentara yang tewas (ditulis "Eropa" atau "Pribumi"). Catatan-catatan ini tidak mencantumkan motivasi atau alasan pemberontakan orang Tionghoa dan Dayak sehingga mereka langsung dilawan dan diredam.
Insiden berikut ini dicatat oleh pemerintah:
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan tugu untuk mengenang para tentara yang tewas dalam pemberontakan Mandor tahun 1889 di Pontianak.
Di depan tugu terdapat lempengan marmer bertuliskan nama-nama berikut ini:
Teks di bawahnya bertuliskan: Gugur dalam pertempuran.
Teks di belakangnya bertuliskan: Mengenang:
Jumlah dan nama pemberontak Tionghoa dan Dayak yang tewas tidak dicatat serinci itu.