Ujung Pagaruyung Kesultanan Inderapura | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1347–1792 | |||||||||
Bendera | |||||||||
Ibu kota | Inderapura | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Minang, Melayu, Sanskerta | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Sultan/Raja | |||||||||
Sejarah | |||||||||
• Awal kekuasaan | 1347 | ||||||||
• Keruntuhan | 1792 | ||||||||
| |||||||||
Kesultanan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan,Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu[1] dan Jambi. Secara resmi, kerajaan ini pernah menjadi bawahan Kerajaan Pagaruyung walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.[2][3]
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatra mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan.[4] Produk terpenting Inderapura adalah lada dan emas.[5]
Pengaruh kekuasaan Kerajaan Inderapura sampai ke Banten di Pulau Jawa. Berdasarkan Sajarah Banten, Kesultanan Banten telah melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Inderapura yang ditandai dengan pemberian keris dari Sultan Munawar Syah kepada Sultan Hasanuddin.[6][7][8] Menurut Hamka, Sultan Munawar Syah menikahkan putrinya dengan Hasanuddin dan menghadiahkan Silebar (daerah penghasil lada di Bengkulu) kepada Kesultanan Banten.[9][10][11][12]
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.[13]
Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatra dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.[13]
Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun, ini diperkirakan bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut pada pertengahan abad ke-16, didorong usaha penanaman lada di batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini, Inderapura telah menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.
Ketika Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai ke wilayah Pariaman, Indrapura menghentikan ekspansinya serta menjalin persahabatan dengan Aceh. Melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Indrapura,[14] dengan Sultan Firman Syah, saudara Raja Aceh ketika itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1569-1575). Melalui hubungan perkawinan itu dengan kekuatan ekonominya, Indrapura dapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Indrapura disebut-sebut bekerja sama dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan untuk suami Raja Dewi naik tahta dan berganti nama menjadi Sultan Sri Alam pada 1576. Walaupun kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan ulama-ulama di Aceh.
Namun pengaruh Indrapura terus bertahan di Kesultanan Aceh dari 1586 sampai 1588. Ada seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi, yakni Sultan Buyong, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II[15] sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[16]
Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur di bawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditas beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.[13]
Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.
Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya sambil berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai Barat Sumatra. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.
Kendali Aceh melemah keetika dipimpin pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC). Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya, Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada serta hak pengerjaan tambang emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.
Secara etimologi, Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatra. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja[17] kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.[18]
Pada akhir abad ke-17, pusat wilayah Inderapura mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.
Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.
Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.
Pada 1663, belanda melalui VOC membuat sebuah kontrak dengan Kerajaan Indrapura terkait batas wilayah. VOC ketika itu menyatakan batas wilayah Kerajaan Indrapura dengan wilayah lainnya dengan perpanjian yang kemudian dinamai "Verbond Indrapoera". Batas yang dinyatakan VOC itu ditandai atau disimbolkan dengan alam, seperti laut, gunung, dan daerah spesifik.[19]
Batas wilayah kekuasaan Kerajaan Indrapura ini pada akhirnya diakui oleh kerajaan lain di Nusantara, terutama kerajaan yang berdekatan dengannya. Selain itu, batas wilayah ini juga diakui oleh kerajaan di luar Nusantara, seperti Malaka dan kerajaan di Negeri Cina.
Pada 1665, VOC merilis sebuah peta yang memuat pembagian wilayah di pesisir barat. Pada peta tersebut juga diterangkan batas wilayah kekuasaan Kerajaan Indrapura, namun berbeda dengan batas wilayah sebelumnya.[20]
Berikut adalah daftar Raja Inderapura:
Tahun | Nama atau gelar | Catatan dan peristiwa penting |
---|---|---|
1550 | Sultan Munawar Syah Raja Mamulia |
|
1580 | Raja Dewi | Nama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi |
1616 | Raja Itam | |
1624 | Raja Besar | |
1625 | Raja Puti | Nama lainnya Putri Rekna Alun |
1633 | Sultan Muzzaffar Syah Raja Malfarsyah |
|
1660 | Sultan Muhammad Syah | Raja Adil menuntut hak yang sama. |
1691 | Sultan Mansur Syah | Sultan Gulemat putra Raja Adil berkedudukan di Manjuto melepaskan diri dari Inderapura. |
1696 | Raja Pesisir | |
1760 | Raja Pesisir II | |
1790 | Raja Pesisir III |